Rabu, 23 Januari 2013

Sejarah Perayaan Maulid Nabi Muhammad


Orang yang memperhatikan sejarah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta sejarah para sahabat dan para tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan hingga generasi sesudah tahun 350 H, tidak akan mendapatkan seorang pun dari umat Islam yang mengadakan mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau memerintahkannya, atau bahkan membicarakannya. Imam Al Hafizh As Sakhawi Asy Syafi’i dalam kitab Fatawa-nya berkata, “Perayaan Maulid tidak dinukil dari seorangpun dari salafush-shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi hal itu terjadi setelah itu.”[1]
Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik adalah sejak kapan Perayaan Maulid ini ada? Apakah diadakan oleh para ulama, atau para raja, atau oleh para Khulafa` Ahlus Sunnah yang dipercaya agamanya? Ataukah dari orang-orang yang menyimpang dan memusuhi Sunnah?[2]
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, di antaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui seorang pun yang merayakan Maulid Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan As Sandubi. Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qalqasandi dalam kitabnya Shubhul A’sya.”
Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah Maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Dinasti Fathimiyyah merayakan berbagai macam Maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah Al Muiz Lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh Al Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab As Suluk Limakrifati Dualil Muluk. Kemudian Maulid Nabi- begitu pula Maulid-Maulid yang lain- pada tahun 488 H karena Khalifah Al Musta’li Billah mengangkat Al Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr Al Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya Al Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga kementerian diganti oleh Al Makmun Al Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqah (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik.[3]
Sejarawan Sunni Syaikh Al Maqrizi Asy Syafi’i (854 H) dalam kitab Al Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata,
Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan,
“Adalah para khalifah dari Dinasti Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu:
·         Hari Raya Tahun Baru
·         Hari Raya Asyura`
·         Hari Raya Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
·         Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu
·         Maulid Hasan dan Husain ‘Alaihis Salam
·         Maulid Fathimah Alaihis Salam
·         Maulid Khalih Al Hadir (yang sedang berkuasa)
·         Malam Awal Rajab
·         Malam Nishfu Sya’ban
·         Malam Ramadhan
·         Ghurrah (awal) Ramadhan
·         Simath (tengah) Ramadhan
·         Malam Khataman
·         Hari Raya Idul Fitri
·         Hari Raya Kurban
·         Hari Raya Ghadir (Khum)
·         Kiswah Asy Syita` (pakaian musim hujan)
·         Kiswah Ash Shaif (pakaian musim panas)
·         Hari Besar Pembukaan Teluk
·         Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia)
·         Hari Raya Al Ghuthas
·         Hari Raya Kelahiran
·         Hari Raya Khamis Al Adas (Khamis Al Ahd, 3 hari sebelum Paskah)
·         dan hari-hari Rukubat.”
Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48) Al Maqrizi berkata, “(Pada tahun 394 H), pada bulan Rabiul Awwal manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.”
Di halaman lain (3/99) ia berkata, (pada tahun 517 H) ”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.”
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada Al Khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya Al Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh Nashir ibn Yahya Al Hanini penulis Al Maulid An Nabawimenyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya. Bagaimana Maulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:
1.      Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap Ahlul Bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
2.      Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas, dan hari Maulid Isa (Natal), yang kesemuanya adalah hari raya Kristen (dan Majusi).
Ibnul Turkmani dalam kitabnya Al Luma’ fil Hawadits wal Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut: “Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar mereka, yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia berkata, “Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.” Lalu dia berkata, “Di antara sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh orang Muslim yang buruk pada hari yang disebut dengan hari Natal (kelahiran/ Maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka ia kafir seperti mereka. Kemudian ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan keharamannya berdasarkan Al Quran dan Hadits melalui kaedah-kaedah syariat. Dengan demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyin.”
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin Al Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir Al Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M) maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin Al Ayyubi ini. Perayaan Maulid ini kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh Al Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Utsmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan Maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Di Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan Maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui Sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti Bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan qarquz,  Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu Al Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan Maulid pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum Maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab Al Ba’its ala Inkaril Bida’ wal Hawadits mengatakan, “Orang yang pertama melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah Syaikh Umar ibn Muhammad Al Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.”
Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya, Al Bidayah wa An Nihayah, menyebutkan bahwa perayaan Maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu Zhuhur hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/bergoyang (semacam joget ala shufi).
Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar.
Syaikh Umar bin Muhammad Al Mulla yang menjadi panutan Sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan Maulid dengan mengundang pejabat, menteri), dan ulama shufi.
Ibnul Hajj Abu Abdillah Al Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.” (Al Madkhal: 2/11-12)
Pada abad ke 7 kitab-kitab Maulid banyak ditulis, seperti kisah Ibnu Dahiyyah yang meninggal di Mesir pada 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, Ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad Al ’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat tahun 677 H.
Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara Maulid maka para ulama mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal Maulid. Di antara mereka adalah Al Fakih Al Maliki Tajuddin Umar ibn Ali Al Lakhami Al Iskandari yang dikenal dengan sebutan Al Fakihani yang wafat tahun 731 H. Dia menuliskannya dalam risalah Al Maurid fil Kalam alal Maulid. Hal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad Al Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852), As Suyuthi (849-911) dan Ibnu Hajar Al Haitami (909-974) menganggap baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel pada acara Maulid.”
Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah yang artinya, “Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam Zawaid Al Musnad, serta Al Baihaqi dalam Syu’abul Imandari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menafsirkan hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya Al Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah nikmat Allah yang besar.
Menurut Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag, betul bahwa mengingatkan nikmat-nikmat Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya dan perayaan atau pesta atau ‘Idul Milad atau Mauludan.
Dikarenakan asal muasal Maulid Nabi tersebut, yaitu berasal dari kaum Bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum Salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif: “Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi: “Sesungguhnya abad-abad awal Islam yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -Salafuna Shalih- hidup, tidak ada secuilpun keterangan tentang ibadah semacam ini, entah itu dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang cukup bagi Salafus Shalih itu?”
__________________________________
[1] Mengutip dari Subulul Huda war Rasyad (1/439), Ash Shalihi, cetakan Kementrian Waqaf Mesir
[2] Nashir ibn Yahya Al Hanini, dalam Al Maulid An Nabawi, Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh) (www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm )
[3] Mei 1997, Fatawa Al Azhar: 8/255

Minggu, 20 Januari 2013

Khalil Gibran

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Khalil Gibran (juga dieja Khalil Gibran; lahir Gibran Khalil Gibran, bahasa Arab: جبران خليل جبران, lahir di Lebanon, 6 Januari 1883 – meninggal di New York City, Amerika Serikat, 10 April 1931 pada umur 48 tahun) adalah seorang seniman, penyair, dan penulisLebanon Amerika. Ia lahir di Lebanon (saat itu masuk Provinsi Suriah di Khilafah Turki Utsmani) dan menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.
Libanon
Khalil Gibran lahir di BasyariLibanon dari keluarga katholik-maronit. Bsharri sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai,gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak memengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.
Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di College de la Sagasse sekolah tinggi Katholik-Maronit sejak tahun 1899 sampai 1902.
Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.
Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.
Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.
Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Pada tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.
Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Foto Kahlil Gibran oleh Fred Holland Day, skt. 1898.
Amerika Serikat
Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.
Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.
Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.
Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaanbahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika.
Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat. ocix_81
Karya dan Kepengarangan
Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.
Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.
Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.
Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".
Kematian
Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dantuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.
Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.
Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukanibadah.
Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

Memorial Kahlil Gibran di Washington, D.C.

Biodata Maroon 5



Band Maroon 5 adalah band yang berasal dari Los Angeles California Amerika serikat  yang terdiri dari  4 personil di antaranya: Adam Levine (Vokalis dan Gitaris), Jesse Carmichael (Keyboardist), Mickey Madden (Bass gitaris), Ryan Dusick (Drummer) dan band ini merilis Album pertama  pada Tahun 1997. Band ini telah mendapatkan penghargaan di Gammy Awards untuk Best New Artist pada Tahun 2005. Dan salah satu personil band Maroon 5 yang bernama Dusick meninggalkan band pada bulan September 2006 dan digantikan oleh Matt Flynn. Perjalan masa karir band Maroon 5 telah menciptakan beberpa Album  seperti:  Songs About Jane (2002), It Won't Be Soon Before Long (2007), Hands All Over (2010). Dan Di bawah ini adalah biodata personil Band Maroon 5 yang sekarang:


Adam Levine

Nama Lahir: Adam Levine Nuh
Tempat Lahir: Los Angeles, California, Amerika Serikat
Tanggal Lahir: 18/Maret/1979
Pekerjaan: Musisi, penyanyi-penulis lagu

Michael Allen Madden

Nama Lahir: Michael Allen Madden
Tempat Lahir: AustinTexas, AS
Tanggal Lahir: 13/Mei/1979
Pekerjaan: Bassist, musisi

Matthew Flynn

Nama Lahir: Matthew Flynn
Tempat Lahir:  WoodstockNYUSA
Tanggal Lahir: 23/May/1970
Pekerjaan: Drummer, musisi, produser

James Burgon Valentine

Nama Lahir :  James Valentine Burgon
Tempat Lahir: LincolnNebraska, AS
Tanggal Lahir: 5/Oktober/1978
Pekerjaan: Gitaris, Musisi


Mantan Anggota
  • Ryan Dusick - Drum, perkusi vokal latar, (1994 - 2006)
  • Jesse Carmichael - Keyboard, gitar (sesekali), backing vocals (1994-2012)